lagi viral Mahjong Ways pas bulan puasa, Bu Lina guru Pontianak beliin sepatu sekolah tiga anak
Di penghujung Ramadan, Bu Lina duduk di teras rumahnya di kawasan Siantan, Pontianak, memegang tiga kotak sepatu baru. Warna biru untuk anak pertama, hitam untuk yang kedua, dan merah marun untuk bungsu semua ukuran pas, semua dibeli tunai. Ini pertama kalinya dalam lima tahun ia bisa beli sepatu sekolah sekaligus untuk ketiga anaknya, tanpa utang, tanpa nunda. Semua berawal dari kebiasaan kecil selama puasa: setiap sahur, usai sholat, ia luangkan lima menit untuk merenung dan merancang strategi sederhana terinspirasi dari pola Mahjong Ways yang ia dengar dari rekan guru. Baginya, ini bukan soal viral, tapi soal niat yang konsisten di bulan penuh berkah.
Scatter Wild: Peluang Itu Sering Muncul Saat Hati Sedang Paling Tenang
Bu Lina, 38 tahun, guru TK di Pontianak, selalu kesulitan akhir tahun ajaran. Gaji guru honorer habis buat kebutuhan bulanan, apalagi harus beli seragam dan sepatu baru. Tahun lalu, anak bungsunya masuk sekolah pakai sepatu bekas. Ia malu, tapi tak punya pilihan. Tapi di awal puasa, dalam obrolan virtual sesama guru, ia dengar istilah “Scatter” dan “Wild”. “Scatter itu peluang yang tersebar bisa dari ide kecil, kolaborasi, atau bahkan hobi yang jadi cuan,” kata temannya. Bu Lina pun terpikir: selama ini ia bikin mainan edukatif dari limbah untuk muridnya kenapa nggak jual?
Tiga Strategi Sederhana yang Bikin Idenya Jadi Penghasilan Tambahan
Pertama, Bu Lina mulai produksi mainan edukatif tiap Sabtu: puzzle huruf dari kardus, angka dari tutup botol, dan boneka jari dari kain perca. Kedua, ia unggah foto di grup orang tua murid dengan caption sederhana: “Ada yang minat mainan edukatif buat anak TK? Bisa pesan, nanti saya buatkan.” Ketiga, ia sisihkan 100 persen keuntungan khusus buat “Dana Sepatu Sekolah” tanpa dicampur kebutuhan lain.
Sistem yang Bikin Mainannya Jadi Rebutan Orang Tua Murid
Dalam dua pekan pertama Ramadan, 22 orang tua murid memesan mainan darinya. Yang mengejutkan, mereka bukan cuma beli tapi sebarkan ke teman di luar sekolah. Bahkan, seorang ibu dari Singkawang pesan lewat ojek online! Bu Lina juga ajak murid-muridnya bikin versi sederhana di kelas, jadi mereka belajar daur ulang sekaligus bermain. “Mainan Bu Lina bikin anakku nggak mau main HP,” kata salah satu ayah murid.
Hasil Nyata: Dari Malu ke Bangga Saat Anak Masuk Sekolah
Dalam 28 hari puasa, Bu Lina berhasil mengumpulkan Rp1,95 juta cukup beli tiga pasang sepatu sekolah berkualitas, plus sisa buat tas baru. Ia tidak perlu pinjam ke siapa pun. Yang paling membahagiakan? Ketiga anaknya masuk sekolah dengan kepala tegak, sepatu baru berkilau, dan senyum lebar. “Dulu aku kira guru TK nggak bisa punya penghasilan tambahan,” katanya sambil merapikan kardus bekas, “tapi ternyata, cukup dengan ubah limbah jadi nilai, semuanya bisa berubah.”
Ajakannya Buat Kamu yang Lagi Ngerasa Gaji Nggak Cukup Buat Anak Sekolah
Kalau kamu merasa gaji nggak cukup buat kebutuhan sekolah anak, coba ini: manfaatkan waktu tenang sahur, Subuh, atau sore hari untuk pikirkan satu keahlian kecilmu yang bisa jadi nilai. Bikin sesuatu? Ajari sesuatu? Rapikan sesuatu? Jangan remehkan hal kecil. Karena seperti dalam Mahjong Ways, “Scatter” itu sering datang dari hal yang selama ini kamu anggap biasa. Dan “Wild” itu muncul pas kamu berani ubah hobi jadi kontribusi. Seperti Bu Lina, dari Pontianak, buat semua pejuang keluarga yang percaya bahwa kebanggaan anak dimulai dari usaha kecil orang tua yang konsisten.
